• PPMA SE-INDONESIA
  • PERHIMPUNAN PEMANGKU MAKAM AULIYA (PPMA)
    SE-INDONESIA
  • ppma.indonesia.kudus@gmail.com
  • +6285727699747
  • Pencarian

PROFIL PERHIMPUNAN PEMANGKU MAKAM AULIYA (PPMA) INDONESIA

A. Pendahuluan

Islam di bumi Nusantara tidak hadir dalam ruang kosong. Sejak abad-abad awal, cahaya Islam bersemi di Barus (Sumatera Utara) dan Perlak (Aceh Timur), lalu menjalar ke Samudera Pasai, Malaka, hingga ke seluruh kepulauan. Kerajaan-kerajaan memberi ruang bagi dakwah, dan seringkali raja sendiri juga seorang ulama sekaligus wali, menyalakan ruh Islam dengan ilmu, akhlak, dan kepemimpinan.

Sebutlah Syekh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau, Sultan Mahmud Riayat Syah di Riau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, Sultan Baabullah di Maluku, hingga Sultan Fakfak di Papua. Gelombang dakwah itu mencapai puncaknya di tanah Jawa melalui Demak, Cirebon, dan Banten, ketika Walisongo tampil sebagai poros dakwah dan peradaban, lalu berlanjut di Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Dari barat hingga timur, setiap jejak dakwah adalah mata rantai yang tidak hanya menyatukan kepulauan, tetapi juga menyalakan energi ruhani yang menyatukan bangsa.

Jejak kepemimpinan itu kini bersemayam di makam-makam auliya yang tersebar di seluruh Nusantara. Makam bukan sekadar pusara, tetapi menara peradaban—warisan kasat mata yang memancarkan energi ruhani dan sosial, menjadi kompas yang meneguhkan arah bangsa. Sedangkan ilmu, adab, akhlak, dan nilai dakwah yang mereka wariskan adalah arus tak kasat mata yang tak pernah padam, menembus zaman, membangkitkan kekuatan batin umat lintas generasi.

Melestarikan kedua warisan itu berarti membangkitkan kembali energi terpendam para auliya’, energi yang menyalakan Islam ramah, toleran, dan berkeadaban. Ziarah tidak berhenti sebagai ritual, tetapi menjadi jalan menghidupkan kembali denyut peradaban. Di situlah khidmah menemukan bentuknya: menjaga, menyalakan, dan menyebarkan kembali cahaya yang telah mereka sulut—sekaligus mewarisinya sebagai tata nilai dan energi penggerak peradaban bangsa.

Perhimpunan Pemangku Makam Auliya (PPMA) lahir pada 25 September 2003 di pelataran Masjid Agung Demak—pusat dakwah Walisongo dan simbol peradaban Islam Jawa. Sejak itu, PPMA menjadi wadah ukhuwah para pemangku makam, menyatukan niat dan langkah dalam menjaga sekaligus menghidupkan energi warisan auliya. Pada Musyawarah Anggota ke-V tahun 2025 di Menara Kudus, PPMA meneguhkan diri sebagai organisasi nasional, menghimpun pemangku makam se-Indonesia dalam satu barisan khidmah.

Menara Kudus dipilih bukan tanpa makna. Menara ini adalah saksi harmoni antara jamaliyyah (keindahan) dan jalaliyyah (keagungan) para wali, teladan dakwah yang mengedepankan uswatun hasanah (keteladanan), ukhuwah (paseduluran), dan tepa selira terhadap peradaban yang sudah ada, sekaligus menyuntikkan adab baru hingga lahirlah peradaban akulturatif yang dinamis dan humanis.

Dengan ruh itu, PPMA hadir bukan hanya sebagai penjaga makam, melainkan sebagai penjaga bara suci yang diwariskan para auliya. Bara itu kini ditiupkan kembali agar menjadi api terang—cahaya yang tidak hanya menerangi masa lalu, tetapi juga membangkitkan energi bagi perjalanan peradaban bangsa di masa depan.

 

B. Mata Rantai Dakwah Peradaban Auliya’

Islam masuk ke Nusantara melalui banyak pintu, namun semuanya berujung pada satu jalur besar: mata rantai dakwah yang menyatukan umat dan menyalakan peradaban. Dari barat hingga timur, dari Sumatera hingga Papua, cahaya Islam dibawa para auliya dengan kasih sayang, hikmah, dan kearifan.

Di barat, cahaya Islam pertama kali menyentuh tanah Barus, Perlak, dan Samudera Pasai. Kerajaan-kerajaan awal memberi ruang bagi ulama dan saudagar untuk menanamkan ajaran Islam dengan damai. Aceh tumbuh sebagai Serambi Mekah, pusat ilmu dan dakwah yang menghubungkan Nusantara dengan dunia Islam internasional. Dari sana, energi dakwah menjalar ke seluruh Sumatera dan kawasan Melayu.

Di Minangkabau, Syekh Burhanuddin Ulakan menyalakan tarekat Syattariyah yang masih hidup hingga kini dalam tradisi masyarakat. Di Riau-Lingga, Raja Ali Haji meneguhkan warisan ilmu dan peradaban Melayu-Islam yang berbudaya. Semua ini menandai bahwa Sumatera adalah simpul awal mata rantai dakwah, tempat energi ruhani Islam mengakar kuat dalam budaya setempat.

Di tanah Jawa, mata rantai itu menemukan porosnya. Sebelum berdirinya Kesultanan Demak, Giri Kedaton yang dipimpin Sunan Giri sudah menjadi pusat dakwah, pendidikan, dan kekuatan moral umat—hingga ia disebut Negara Wali. Dari Giri lahir ulama dan kader dakwah yang menyebar ke berbagai daerah. Baru kemudian Demak, Cirebon, dan Banten menghadirkan legitimasi politik yang lebih luas.

Dalam konteks inilah Walisongo tampil sebagai figur sentral: bukan hanya ulama, melainkan negarawan dan budayawan. Dengan hikmah, ilmu, dan kasih sayang, mereka menyulam agama dengan budaya, menyalakan api Islam yang damai, kreatif, dan akomodatif. Mereka meletakkan tata nilai yang kemudian menjadi fondasi peradaban Jawa, bahkan Nusantara.

Dari Jawa, cahaya itu menjalar ke Kalimantan dan Sulawesi. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Martapura bukan hanya ulama besar, tetapi juga penasehat sultan, yang mengajarkan fikih dan tasawuf sebagai pilar kehidupan masyarakat. Di Sulawesi, Sultan Hasanuddin dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tetapi juga sebagai pembela Islam. Dari Gorontalo, Buton, hingga Ternate, para raja dan ulama menyatu dalam kepemimpinan ruhani dan sosial yang memperkuat sendi masyarakat.

Di Maluku, Sultan Khairun dan Sultan Baabullah dari Ternate dikenang sebagai penguasa yang menjaga dakwah sekaligus mempertahankan martabat umat. Di Papua, Sultan Fakfak dan Syekh Yusuf Fakfak menjadi saksi bahwa cahaya Islam telah menyentuh ujung timur Nusantara berabad-abad lalu.

Dari barat ke timur, dari utara ke selatan, semua jejak ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara lahir bukan dari konflik, melainkan dari persatuan energi ruhani: antara ulama, raja, dan wali yang seringkali menyatu dalam satu kepemimpinan.

Inilah mata rantai dakwah Peradaban Auliya’ yang kini ingin dijaga, dirawat, dan dihidupkan kembali oleh PPMA. Sebagaimana para wali dahulu menyalakan bara peradaban dengan akhlak dan kasih sayang, PPMA hadir untuk meniupkan kembali bara itu, agar menjadi api penerang.

Ziarah dengan adab bukan hanya penghormatan, tetapi jalan untuk menyambungkan diri pada arus energi ruhani para auliya. Makam, manuskrip, dan tradisi adalah warisan kasat mata; sementara ilmu, akhlak, dan doa-doa adalah warisan tak kasat mata. Keduanya berpadu menjadi energi peradaban.

Dengan khidmah dan cinta, PPMA berikhtiar menjadi simpul yang menyatukan jaringan Peradaban Auliya’—agar mata rantai itu tetap menyala, cahaya dakwah tetap hidup, dan energi auliya terus menggerakkan bangsa di tengah zaman yang berubah.

 

C. Lahirnya PPMA

Mata rantai dakwah Peradaban Auliya’ tidak berhenti pada kisah para wali, ulama, dan kerajaan masa lalu. Jejak mereka tetap hidup dalam makam-makam auliya yang kini menjadi pusat ziarah dan cahaya ruhani umat. Di balik ramainya ziarah itu, ada sosok-sosok yang setia menjaga suasana: para pemangku makam. Mereka merawat pusara, menata adab, menjaga aurad, dan menjadi penghubung antara peziarah dengan energi ruhani para wali.

Selama berabad-abad, peran pemangku makam berjalan dalam tradisi lokal masing-masing. Namun di awal abad ke-21, muncul kesadaran baru: bahwa khidmah ini perlu dihimpun dalam satu wadah bersama, agar energi khidmah tidak tercerai-berai, tetapi terarah, kuat, dan berdaya.

Kesadaran itu menemukan momentumnya pada Kamis Wage, 28 Rajab 1424 H / 25 September 2003 M, ketika para pemangku makam dari Jawa dan Madura berkumpul di pelataran Masjid Agung Demak. Tempat itu bukan sembarang lokasi: Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, pusat perjuangan Walisongo, dan simbol bersatunya ulama dan umara dalam membangun peradaban. Di situlah bara khidmah disatukan, melahirkan organisasi bernama Perhimpunan Pemangku Makam Auliya (PPMA).

Para pendiri PPMA hadir mewakili maqam-maqam besar para wali dan tokoh Peradaban Auliya’: mulai dari Maulana Malik Ibrahim (Gresik), Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Bonang (Tuban), Sunan Drajat (Lamongan), Sunan Giri (Gresik), Sunan Kudus (Kudus), Sunan Muria (Colo), Sunan Kalijaga (Kadilangu), Sunan Gunung Jati (Cirebon), hingga para sultan dan ulama besar seperti Raden Fatah dan Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Kehadiran mereka menegaskan bahwa PPMA sejak awal berdiri membawa ruh mata rantai dakwah Peradaban Auliya’ secara utuh.

Sejak awal, PPMA tidak dimaksudkan sekadar menjadi organisasi administratif, melainkan wadah ukhuwah dan khidmah. Ia lahir dari cinta, niat, dan amanah untuk menjaga warisan para wali. Para pendiri sadar, menjaga makam bukan hanya menjaga pusara, manuskrip, dan tradisi (tangible heritage), tetapi juga menjaga adab ziarah, aurad, akhlak, dan semangat dakwah (intangible heritage).

Dua dekade perjalanan PPMA menjadi saksi tumbuhnya ikhtiar bersama itu. Musyawarah demi musyawarah diselenggarakan, bukan sekadar membentuk struktur, tetapi menyatukan tekad, menghidupkan bara khidmah, dan menyusun langkah dakwah. Dari Demak, jejak itu menjalar ke makam-makam wali di Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. PPMA menjadi simpul silaturahmi, ruang berbagi pengalaman, sekaligus benteng ketika ada ancaman terhadap adab ziarah.

Puncak ikhtiar itu tiba pada Musyawarah Anggota V tahun 2025 di Kudus. Di bawah naungan Menara Kudus—simbol akulturasi budaya dan moderasi dakwah Peradaban Auliya’—PPMA meneguhkan diri sebagai organisasi nasional. Dari Kudus dipancarkan pesan bahwa dakwah tidak harus meruntuhkan, tetapi mampu menyatu dengan peradaban yang ada, lalu melahirkannya kembali dengan wajah yang lebih mulia.

Dengan demikian, kelahiran PPMA adalah kelanjutan dari mata rantai dakwah Peradaban Auliya’. Jika dahulu para wali, ulama, dan raja menyalakan api peradaban, maka kini para pemangku makam berhimpun dalam PPMA untuk meniupkan kembali energi auliya. Dari bara yang dijaga turun-temurun, PPMA ingin menyalakan obor yang menerangi umat dan bangsa menuju masa depan.

 

D. Visi, Misi Dan Tujuan

Visi

“Lestari dan berdayagunanya warisan peninggalan Auliya’, baik yang kasat mata (tangible heritage) maupun tidak kasat mata (intangible heritage), sebagai tata nilai dan sumber energi peradaban”

 

Misi

Untuk mewujudkan visi tersebut, PPMA menetapkan sembilan misi yang saling terkait, seperti anak-anak tangga yang membawa organisasi menuju tujuan:

  1. Merawat dan menjaga makam Auliya’ beserta pusaka sejarahnya
  2. Menyelenggarakan layanan ziarah yang nyaman, aman, beradab, dan edukatif
  3. Mengembangkan ekosistem usaha dan membangun kemitraan strategis
  4. Mendokumentasikan, mendigitalisasi, dan mempublikasikan sejarah serta tradisi
  5. Melaksanakan penelitian, pengembangan, dan literasi
  6. Menyelenggarakan pendidikan dan kaderisasi
  7. Menghidupkan seni, tradisi, dan diplomasi budaya
  8. Menata kawasan makam dan lingkungan hidup
  9. Melakukan advokasi serta perlindungan hokum

 

Tujuan

Sembilan misi PPMA di atas menegaskan Tujuan PPMA:

  1. Menjamin kelestarian warisan tangible (kasat mata) dan intangible (tak kasat mata), agar warisan auliya tetap hidup, berdaya, dan membangkitkan energi ruhani umat.
  2. Memberikan pengalaman ziarah yang edukatif, spiritual, dan beradab.
  3. Memperkuat jejaring dan kemitraan strategis demi keberlanjutan program.
  4. Meningkatkan kualitas dokumentasi, digitalisasi, dan literasi warisan auliya.
  5. Menghasilkan penelitian dan pengembangan yang menjadi rujukan umat dan bangsa.
  6. Mencetak kader pengelola yang profesional, berkarakter, dan berjiwa khidmah.
  7. Melestarikan serta mengembangkan seni, budaya, dan tradisi sebagai media dakwah dan energi sosial.
  8. Menata kawasan makam dan lingkungan sekitar agar harmonis, aman, dan berkelanjutan.
  9. Mendorong kemandirian ekonomi, advokasi hukum, serta perlindungan bagi pengelola dan jamaah.

 

E. Struktur Organisasi

  • Dewan Pembina

Bertindak sebagai penjaga ruh dan arah dasar organisasi. Mereka memastikan setiap langkah PPMA senantiasa selaras dengan nilai dan energi yang diwariskan para Auliya’.

  • Dewan Penasehat

Memberikan pandangan strategis, nasihat mendalam, dan pertimbangan kebijakan. Mereka ibarat menara pandang, yang menjaga arah khidmah di tengah dinamika zaman.

  • Dewan Pengurus Harian

Terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan Bendahara Umum, yang mengelola operasional sehari-hari serta mengoordinasikan langkah lintas-bidang.

  • 9 Bidang Khidmah

menjadi mesin penggerak organisasi. Setiap bidang memiliki fokus dan  tanggung  jawab  yang  jelas,  memastikan  visi  dan  misi  terwujud  dalam praktik nyata.

  1. Ibadah dan Layanan Ziarah
  2. Kelembagaan dan  Kemitraan  Strategis 
  3. Komunikasi, Dokumentasi,  dan  Digitalisasi  
  4. Penelitian, Pengembangan,  dan  Literasi  
  5. Pendidikan dan Kaderisasi
  6. Seni, Tradisi,  dan  Diplomasi  Budaya
  7. Tata Kelola Kawasan dan Lingkungan Hidup
  8. Ekosistem  Usaha   dan  Kemandirian  
  9. Advokasi dan Hukum

 

F. Nilai-Nilai Dasar (Core Values) PPMA

Nilai-nilai dasar PPMA menjadi fondasi spiritual, moral, dan operasional yang menjiwai setiap langkah organisasi. Kelima nilai ini tidak hanya menuntun pemangku makam dalam pengabdian sehari-hari, tetapi juga mencerminkan komitmen PPMA kepada masyarakat,

warisan auliya, dan bangsa.

  1. Khidmah (خدمة) PengabdianTulus

Seluruh gerak PPMA berangkat dari niat khidmah, yakni pengabdian tulus kepada Allah melalui perawatan dan penghidupan warisan auliya. Khidmah bukan sekadar menjaga pusara, tetapi juga membangkitkan energi ruhani agar menjadi suluh bagi umat.

  1. Ukhuwah (أخوة) Persaudaraan

PPMA menempatkan ukhuwah sebagai fondasi utama. Ukhuwah ini tidak sebatas ikatan formal organisasi, tetapi berakar pada cinta kepada auliya dan dakwah mereka. Ikatan ini melampaui batas daerah, suku, nasab, dan golongan, menyatukan semua pemangku makam dalam semangat khidmah dan cinta tanah air.

  1. Ḥirāsah wa Iḥyā’ (حراسة واحياء) Pelestarian dan Pendayagunaan

Menjaga sekaligus menghidupkan kembali warisan auliya, baik tangible (kasat mata) maupun intangible (tak kasat mata). Pelestarian tanpa penghidupan hanyalah menjaga batu; sedangkan penghidupan adalah membangkitkan energi ruhani, menjadikannya pedoman hidup dan sumber kekuatan peradaban.

  1. Wasathiyyah (وسطية) - Moderasi

Meneladani para wali yang menyiarkan Islam dengan damai dan akomodatif. PPMA menjunjung tinggi moderasi beragama sebagai nilai kebangsaan, menjadi benteng dari sikap ekstrem maupun liberal yang menanggalkan akar tradisi. Moderasi adalah cara menjaga api dakwah tetap menyala tanpa membakar, melainkan menghangatkan dan menerangi.

  1. Waṭhaniyyah (وطنية) - Kebangsaan

Khidmah kepada auliya adalah wujud cinta tanah air. Ziarah dan dakwah Peradaban Auliya’ menjadi bagian dari perjuangan bangsa, menjaga persatuan, memperkuat identitas Indonesia, dan menyalakan semangat kebangsaan yang beradab.

 

G. PPMA Sebagai Gerakan Gerakan Tata Nilai dan Energi Peradaban

Pada mulanya, PPMA hadir sebagai wadah khidmah dan dakwah. Para pemangku makam berhimpun untuk merawat pusara, menjaga adab ziarah, dan meneruskan tradisi dakwah Peradaban Auliya’. Namun seiring perjalanan, kesadaran itu tumbuh: bahwa warisan auliya bukan sekadar untuk dijaga dan diwariskan, melainkan untuk dihidupkan kembali sebagai tata nilai dan energi peradaban.

Dengan visi baru, PPMA menegaskan dirinya bukan hanya gerakan khidmah, bukan pula sekadar gerakan dakwah, tetapi gerakan tata nilai—yang menyusun, meneguhkan, dan menyalurkan nilai-nilai warisan auliya agar tetap relevan sepanjang zaman. Dari nilai itulah lahir energi yang membangkitkan iman, adab, solidaritas sosial, hingga semangat kebangsaan.

Warisan tangible (makam, manuskrip, pusaka, tradisi) adalah baterai peradaban yang menyimpan daya. Sementara warisan intangible (ilmu, akhlak, doa, aurad, dan adab ziarah) adalah arus ruhani yang mengalir tanpa henti. PPMA hadir sebagai konduktor yang menyambungkan keduanya, agar energi itu tidak terpendam, melainkan menyalakan umat dan bangsa.

Gerakan tata nilai ini menemukan bentuknya dalam berbagai dimensi:

  1. Dimensi Spiritual

PPMA memastikan ziarah bukan hanya ritual, melainkan jalan untuk menghubungkan umat dengan energi ruhani auliya—energi yang menenangkan hati sekaligus membangkitkan semangat perjuangan.

  1. Dimensi Sosial-Budaya

Melalui seni, tradisi, dan diplomasi budaya, PPMA menyuntikkan energi kebersamaan, memperkuat identitas Nusantara, dan menghadirkan Islam sebagai rahmat yang menyatu dengan kebudayaan.

  1. Dimensi Pendidikan dan Ilmu

PPMA menyalakan kembali api ilmu dan literasi Peradaban Auliya’, agar generasi muda tidak tercerabut dari akar peradabannya.

  1. Dimensi Kebangsaan

Dengan tata nilai wasathiyah (moderasi) dan waṭhaniyyah (kebangsaan), PPMA meneguhkan bahwa cinta auliya adalah bagian dari cinta tanah air. Energi itu menjadi perekat persatuan bangsa.

Dengan demikian, PPMA adalah barisan penyambung energi auliya. Dari makam-makam yang dijaga, dari doa-doa yang dipanjatkan, hingga dari tradisi yang dirawat, lahirlah energi yang menyuntikkan kehidupan baru bagi umat dan bangsa.

PPMA hadir bukan sekadar menjaga masa lalu, melainkan menyalakan masa depan: menghadirkan tata nilai yang membimbing, sekaligus energi yang menggerakkan peradaban.

 

H. Arah Strategis PPMA

Sebagai organisasi khidmah yang meneguhkan diri sebagai gerakan tata nilai dan energi peradaban, PPMA menyusun arah strategis jangka panjang. Strategi ini memastikan setiap langkah bukan hanya menjaga warisan, tetapi juga menghidupkan energi ruhani, sosial, dan budaya yang diwariskan para auliya.

Kesembilan bidang khidmah menjadi mesin penggerak, sementara arah strategis adalah peta jalan agar energi itu menyala terarah. Untuk itu, PPMA menata langkah dalam tiga horizon waktu:

  • Jangka Pendek (2025–2027): Konsolidasi dan Fondasi
  • Jangka Menengah (2028–2032): Penguatan dan Perluasan
  • Jangka Panjang (2033–2040): Legacy Nasional dan Global

Tahapan ini memastikan setiap bidang khidmah berkontribusi nyata sesuai porsinya dalam perjalanan PPMA menuju 2040.

 

  1. Jangka Pendek (2025–2027): Konsolidasi dan Fondasi Energi
  • Menata kelembagaan, memperkuat keanggotaan nasional, serta membangun sistem komunikasi dan dokumentasi dasar.
  • Menyusun standar manajement ziarah dan buku tuntunan adab ziarah beradab.
  • Melaksanakan kaderisasi awal pemangku muda agar energi khidmah tidak terputus.
  • Menata kawasan makam utama sebagai ruang energi ruhani yang nyaman, aman, dan mendidik.
  1. Jangka Menengah (2028–2032): Penguatan dan Perluasan Energi
  • Mengembangkan kemitraan strategis dengan pemerintah, pesantren, ormas, dan perguruan tinggi.
  • Membentuk portal digital PPMA untuk mendokumentasikan warisan auliya dan menyebarkan nilai Peradaban Auliya’.
  • Mengintensifkan riset dan publikasi, agar energi ilmu auliya menjadi rujukan akademis, sosial, dan kebudayaan.
  • Menyelenggarakan festival budaya dan ziarah edukatif yang menyuntikkan energi kebersamaan.
  • Mengembangkan unit usaha berbasis jamaah, wakaf produktif, dan kemandirian ekonomi umat.
  • Memperjuangkan regulasi daerah dan nasional tentang perlindungan situs makam dan pusaka ruhani.
  1. Jangka Panjang (2033–2040): Legacy Nasional dan Global
  • Menjadi mitra strategis nasional dalam pelestarian dan pengelolaan warisan auliya.
  • Mendirikan Pusat Studi Warisan Auliya dan Ziarah Beradab sebagai menara ilmu, literasi, dan tata nilai peradaban.
  • Menghadirkan Akademi Pemangku Makam Nusantara untuk kaderisasi berkelanjutan lintas generasi.
  • Membentuk Lembaga Dokumentasi dan Literasi Auliya Nusantara agar pengetahuan, manuskrip, dan tradisi tidak hilang ditelan zaman.
  • Menyelenggarakan diplomasi budaya tingkat ASEAN dan internasional, menjadikan energi auliya sebagai inspirasi global.
  • Mengelola dana abadi PPMA melalui wakaf produktif dan usaha berkelanjutan.
  • Membentuk lembaga advokasi nasional untuk perlindungan situs makam dan tradisi ziarah..

 

Penutup

Perhimpunan Pemangku Makam Auliya (PPMA) lahir dari kesadaran akan pentingnya menjaga sekaligus menghidupkan warisan para wali. Warisan itu terbagi dua: tangible (kasat mata) berupa makam, manuskrip, pusaka, dan tradisi; serta intangible (tak kasat mata) berupa ilmu, akhlak, doa, aurad, dan nilai dakwah. Keduanya bukan sekadar peninggalan, melainkan sumber energi peradaban yang terus memberi arah bagi umat dan bangsa.

Sejak awal, PPMA tidak hanya dimaksudkan sebagai wadah administratif, melainkan sebagai gerakan tata nilai dan energi peradaban. Di dalamnya bersemayam ruh khidmah, ukhuwah, dan cinta tanah air. Para pemangku makam dari Sabang sampai Merauke disatukan oleh satu tekad: menyalakan kembali bara auliya agar tetap menyala, menerangi kehidupan umat, dan membimbing arah bangsa.

Dengan visi strategis yang disusun dalam sembilan bidang khidmah, PPMA berkomitmen mewariskan tata kelola makam yang beradab, ziarah yang mendidik, dakwah yang moderat, serta tradisi yang memuliakan umat. Lebih dari itu, PPMA ingin menghadirkan energi ruhani auliya sebagai kekuatan transformasi sosial, budaya, dan kebangsaan.

Profil ini meneguhkan bahwa PPMA adalah penjaga cahaya Peradaban Auliya’—cahaya yang menerangi masa lalu, membangkitkan energi kini, dan menuntun arah masa depan. PPMA menjaga bara auliya agar tak pernah padam, menyalakannya menjadi suluh peradaban bangsa, serta memastikan warisan itu tetap hidup, lestari, dan menjadi sumber daya ruhani bagi generasi sepanjang zaman. Dengan itu, PPMA meneguhkan diri bukan hanya sebagai penjaga warisan, tetapi juga sebagai penggerak peradaban—menyambungkan masa lalu, menguatkan masa kini, dan menuntun masa depan bangsa.

Halaman Lainnya
Visi dan Misi

Visi “Lestari dan berdayagunanya warisan peninggalan Auliya’, baik yang kasat mata (tangible heritage) maupun tidak kasat mata (intangible heritage), sebagai tata nilai dan

15/01/2023 21:23 - Oleh Ahmad Arinal Haq - Dilihat 36 kali